Rabu, 29 Februari 2012

Nikmatnya Kaledo & Uwe Mpoi dari Lembah Palu


detail berita

Kaledo (Foto: kitabmasakan)
PANTJEWA, sejarawan dan budayawan Sulawesi Tengah bercerita, ada suatu masa di mana raja-raja Kaili kerap melakukan pesta dengan mengundang seluruh rakyat dan raja lain. Untuk pertemuan itu, raja meminta seorang ahli masak untuk dibuatkan makanan istimewa. Ahli masak menyanggupi. Segera sapi disembelih. Dari situlah awal mula kaledo dan uwe mpoi (kuah asam).
 
Sejak itu, kaledo dan uwe mpoi pun menjadi masakan khas suku Kaili yang mendiami Lembah Palu. Ia menjadi makanan khas Kota Palu yang tidak akan bisa dijumpai di daerah lain. Dan kini, ia pun bisa dikonsumsi oleh siapa saja.
 
Kedua jenis makanan ini sama-sama berbahan dasar dari beberapa bagian tubuh sapi. Pada kaledo, bahan dasar utamanya adalah dari kaki sapi, sedikit tulang iga, dan tulang leher. Karena bahan ini, orang Palu sering memelesetkan kaledo sebagai akronim dari kaki lembu Donggala. Sebab, sebelum terjadi pemekaran, Palu memang merupakan bagian dari Kabupaten Donggala. Sementara, uwe mpoi berbahan dasar tulang iga yang sedikit dicampur dengan paru serta babat.
 
Kedua makanan ini sama-sama dimasak dengan menonjolkan asam dan pedas cabai rawit. Hanya saja, jika kaledo lebih memainkan cita rasa sumsum kaki, maka uwe mpoi menonjolkan asam dam pedas dari tulang iga dan babat.
 
Di Kota Palu, kini ada beberapa warung makan yang menyajikan Keledo. Salah satunya yang terkenal adalah warung Kaledo Abadi milik Hajah Rahma Yusuf (62), yang terletak di Jalan Diponegoro Nomor 15, Kecamatan Palu Barat. Sedangkan warung makan uwe mpoi, di antaranya ada di warung makan Uwe Mpoi Ina Djuha. Warung makan yang tersohor milik Ina Djuahera Tatunava (63), ini terletak di Jalan Anoa 1 Nomor 115, Kelurahan Tatura Utara, Kecamatan Palu Selatan.
 
Warga Kota Palu atau pun masyarakat pendatang yang telah bertahun-tahun tinggal di sini, hampir dapat dipastikan mengetahui warung Uwe Mpoi Ina Djuha. Warung yang merupakan pelopor uwe mpoi ini memiliki luas seukuran 8,5 meter, yang terletak di sisa pekarangan tepat di sebelah kiri rumahnya.
 
“Dulu hanya pondok-pondok kecil saja, alhamdulillah, lama-lama bisa kita buat seperti ini,” kata Ina Djuha dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
 
Cara masak kaledo dan uwe mpoi cukup sederhana. Untuk memasak kaledo, terlebih dahulu tulang kaki, tulang iga, dan tulang leher harus sudah di potong-potong. Berbagai potongan tersebut lalu dicuci berulangkali. Ini untuk memastikan sisa darah benar-benar telah bersih. Selanjutnya, tulang-tulang itu direbus hingga matang.
 
Sementara, cabai hijau yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam belanga. “Untuk asam, saya pakai yang muda masih ada kulitnya, itu kita masak terpisah, kemudian kita remas dan diperas, disaring airnya saja,” jelas Rahma.
 
Semudah cara memasak kaledo, begitu juga dengan uwe mpoi. Pada uwe mpoi, yang pertama kali perlu dilakukan adalah memotong tulang iga, lemak, paru-paru, dan babat dalam ukuran kurang lebih lima sentimeter.
 
“Mencucinya minimal harus sampai lima kali, supaya bau anyirnya benar-benar hilang,” kata Ina Djuha.
 
Pada saat yang sama, bumbu-bumbu seperti pada kaledo dihaluskan untuk kemudian dimasak di dalam belanga. Setelah mendidih, tulang iga, paru-paru, lemak, dan babat dimasukkan dimasak hingga matang.
 
Biasanya, untuk menikmati sajian kaledo maupun uwe mpoi, pendamping yang tepat bukanlah nasi, melainkan ubi kayu atau jagung rebus. Atau minimal dengan burasa, sejenis lontong yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk pipih.
 
Meski kaledo maupun uwe mpoi merupakan bagian dari sejarah peradaban suku Kaili, harganya relatif mahal bagi kebanyakan masyarakat Kota Palu. Untuk kaledo, warung Rahma memasang harga Rp30 ribu per porsi. Sedangkan uwe mpoi di warung Ina Djuha dipatok dengan harga Rp15 ribu.
 
“Makanya yang datang untuk makan (hanya) sebagian kecil saja yang dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Tapi racikan bumbu sederhana uwe mpoi yang menonjolkan asam dan pedas ini tidak akan membuat makanan ini hilang,” kata Ulfiana (23), cucu Ina Djuha yang disiapkan untuk menjadi penerus warung makan uwe mpoi ini.
 
Rahma beralasan, harga yang ditetapkan dipicu dari tingginya harga bahan baku di pasar. Sebab, sapi-sapi yang dipotong kebanyakan didatangkan oleh pedagang sapi dari daerah lain.
 
“Sebenarnya bahan-bahan masih mudah dibeli di pasar, cuma harganya sudah mahal sekali. Dulu, per kaki hanya Rp5 ribu. Sekarang sudah Rp100 ribu ke atas. Soalnya, kebanyakan sapi dipotong dari Gorontalo dan kabupaten lain, makanya lebih mahal,” papar Rahma. (Disarikan dari buku “Jejak Kuliner Indonesia” karya JNE).

Kota Palu




Lambang Kota Palu
Lambang
Kota Palu terletak di Indonesia
Kota Palu
Lokasi Kota Palu di Pulau Sulawesi
Koordinat: 0°54′S 119°50′E
Negara  Indonesia
Pemerintahan
 - Walikota Rusdi Mastura
 - DAU Rp. 422.397.157.000,- (2011)[1]
Luas
 - Total 395,06 km2
Populasi (2010)
 - Total 335.297
 Kepadatan 848.7/km²
Demografi
 - Suku bangsa Kaili, Kulawi, Pamona, Banggai, Tionghoa
 - Agama Islam, Kristen, Buddha
 - Bahasa Indonesia, Kaili
Zona waktu WITA
Kode telepon +62 451
SNI 7657:2010 PAL
Kecamatan 4
Desa/kelurahan 43
Situs web http://palukota.go.id/
Palu adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu terletak sekitar 1.650 km di sebelah timur laut Jakarta. Koordinatnya adalah 0°54′ LS 119°50′ BT. Penduduknya berjumlah 282.500 jiwa (2005).
Bersama dengan Poso, Palu telah beberapa kali menjadi target dalam konflik yang sedang berlangsung di Sulawesi. Pada November 2005, sepasang warga beragama Kristen ditembak dan dicederai di kota ini. Sebuah bom juga meledak di sebuah pasar yang khusus menjual daging babi pada 31 Desember 2005 dan menewaskan delapan orang serta mencederai 45 lainnya.

Gempa 2005

Pada tanggal 24 Januari 2005 pukul 04.10 WITA, gempa berkekuatan 6,2 pada Skala Richter mengguncang Palu. Pusat gempa terjadi di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, 16 km arah tenggara Palu tepatnya di sekitar air panas Desa Bora, di kedalaman 30 km. Gempa itu berada pada 1°03′ LS - 119°99′ BT. Warga panik dan langsung mengungsi karena takut kemungkinan adanya tsunami seperti yang terjadi di Aceh. Sebagian dari mereka melarikan diri ke perbukitan dan pegunungan. Akibatnya, satu orang meninggal, empat orang cedera dan 177 bangunan rusak.

Kondisi Umum

Letak Geografi

Provinsi Sulawesi Tengah terletak di antara 2° 22’ Lintang Utara dan 4° 48’ Lintang Selatan serta 119° 22’ dan 124° 22’ Bujur Timur.
Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Utara Provinsi Gorontalo
Selatan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Barat Selat Makassar dan Provinsi Sulawesi Barat
Timur Provinsi Maluku
Provinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 1964 terdiri dari wilayah daratan 68.033,00 km persegi dan wilayah lautan 189.408,00 km persegi. Secara administratif Sulawesi Tengah dibagi dalam 9 kabupaten, 1 kota madya dengan 85 kecamatan serta 1300 desa dan 132 kelurahan 91.432 desa/kelurahan.
Topografi wilayah daratan diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Lahan pertanian: 673.759 Ha (10,56%)
  2. Hutan lindung: 1.764.720 Ha (21,71%)
  3. Hutan suaka wisata: 604.780 Ha (9,49%)
  4. Hutan suaka tetap: 422.809 Ha (33,64%)
  5. Hutan produksi yang dapat dikonversi: 241.757 Ha (3,80%)
  6. Lahan pemukiman: 519.757 Ha (8,16%)
Berdasarkan elevasi (ketinggian) dataran di Sulawesi Tengah terdiri dari:
  • 0-100 M = 20,2%
  • 101-500 M = 27,2%
  • 501-1000 M = 26,7%
  • di atas 1001 M = 25,9%
Jarak antara ibukota provinsi ke daerah kabupaten:
No. Jarak Antara Kilometer
1 Palu - Poso 221 Km
2 Palu - Luwuk 607 Km
3 Palu - Toli-Toli 439 Km
4 Palu - Donggala 34 Km
5 Palu - Parigi Moutong 66 Km
6 Palu - Morowali 756 Km
7 Palu - Buol 806 Km
8 Palu - Tojo Unauna 300 Km

Penduduk

Tahun 1990 2000 2010
Jumlah penduduk Green Arrow Up.svg 199.495 Green Arrow Up.svg 268.322 Green Arrow Up.svg 335.297
Sejarah kependudukan kota Palu
Sumber:[2]

Pemerintahan

 
Kediaman controleur di masa Hindia Belanda (tahun 1930-an)
Kota Palu dibagi kepada 4 kecamatan dan 43 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah:

Walikota Palu

  • Drs.H.Kisman Abdullah, Walikota Administratif Tahun 1978 - 1986
  • Drs. Sahbuddin Labadjo, Walikota Adminsitratif Tahun 1986- 1994
  • Rully A.Lamadjido,SH, Walikota Tahun 1994 - 2000.
  • H.Baso Lamakarate, Walikota Tahun 2000 - 2005.
  • H.Suardin Suebo, SE, Walikota Tahun 2005 - 2006.
  • Rusdi Mastura, Walikota Tahun 2006 - sekarang

Situs pariwisata

Dombu

Gunung Gawalise di barat kota Palu, kabupaten Donggala, berpotensi sebagai obyek wisata alam dan budaya yang menarik. Gunung Gawalise berjarak ± 34 kilometer dari Palu dan dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat dalam kurun waktu ± 1 jam 30 menit. Di gunung Gawalise terdapat desa Dombu yang terletak di ketinggian dan berhawa sejuk. Desa lainnya adalah desa Matantimali, desa Panasibaja, desa Bolobia dan desa Rondingo.
Desa-desa ini didiami oleh suku Da'a. Suku Da'a merupakan sub-etnis suku Kaili yang mendiami daerah pegunungan. Di desa-desa ini dapat disaksikan atraksi sumpit yang diperagakan oleh warga setempat. Rumah di atas pohon masih ditemukan di desa Dombu sampai sekarang.
Di Gunung Gawalise dapat dilakukan hiking/trekking dengan rute-rute Wayu - Taipanggabe - Dombu - Wiyapore - Rondingo Kayumpia/Bolombia - Uemanje dalam waktu kurang dari 1 minggu.

Taman Nasional Lore Lindu

Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. Kawasan ini terletak sekitar 60 kilometer sebelah selatan kota Palu dan terletak antara 119°90’ - 120°16’ di sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.

Hutan Wisata Danau Lindu

Hutan Wisata Danau Lindu termasuk dalam kategori wilayah Enclave Lindu dan termasuk bagian dari Wilayah Kecamatan Kulawi yang secara geografis terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, oleh karena itu semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan TNLL.

Transportasi

Transportasi Udara

Kota Palu mempunyai sebuah bandara internasional, yaitu Bandara Mutiara.

Transportasi Darat

Transportasi darat di daerah ini antara lain:
  • Angkot
Di kota Palu terdapat sekitar 800 bus mini atau juga dikenal dengan sebutan angkot yang menjadi komuter utama di kota ini. Jumlah angkot di kota ini sering kali dianggap terlalu banyak mengingat kota ini hanya membutuhkan sekitar 500 angkot. Hal ini berarti terdapat 2 angkot untuk seorang komuter. Biaya Rp. 2.500,- untuk orang dewasa dan Rp. 1.000,- untuk pelajar. Uniknya, meskipun trayek angkot telah ditetapkan, setiap angkot dapat saja mengantar penumpang ke mana saja sepanjang sopir angkot berkenan. Satu hal lagi yang unik adalah, angkot tersebut disebut sebagai "Taksi" oleh penduduk setempat.
  • Bus
Pada umumnya bus hanya digunakan untuk transportasi dalam skala besar dan bus tidak bersifat publik di dalam kota. Pada umumnya untuk skala antar kota.
  • Taksi
Taksi adalah komuter paling eksklusif di kota ini. Penduduk setempat menggunakan kata "argo" untuk menyebut komuter ini, mengacu pada argometer yang melengkapi setiap taksi.