Kaledo (Foto: kitabmasakan)
PANTJEWA,
sejarawan dan budayawan Sulawesi Tengah bercerita, ada suatu masa di
mana raja-raja Kaili kerap melakukan pesta dengan mengundang seluruh
rakyat dan raja lain. Untuk pertemuan itu, raja meminta seorang ahli
masak untuk dibuatkan makanan istimewa. Ahli masak menyanggupi. Segera
sapi disembelih. Dari situlah awal mula kaledo dan uwe mpoi (kuah asam).
Sejak itu, kaledo dan uwe mpoi pun menjadi masakan khas suku Kaili yang
mendiami Lembah Palu. Ia menjadi makanan khas Kota Palu yang tidak akan
bisa dijumpai di daerah lain. Dan kini, ia pun bisa dikonsumsi oleh
siapa saja.
Kedua jenis makanan ini sama-sama berbahan dasar dari beberapa bagian
tubuh sapi. Pada kaledo, bahan dasar utamanya adalah dari kaki sapi,
sedikit tulang iga, dan tulang leher. Karena bahan ini, orang Palu
sering memelesetkan kaledo sebagai akronim dari kaki lembu Donggala.
Sebab, sebelum terjadi pemekaran, Palu memang merupakan bagian dari
Kabupaten Donggala. Sementara, uwe mpoi berbahan dasar tulang iga yang
sedikit dicampur dengan paru serta babat.
Kedua makanan ini sama-sama dimasak dengan menonjolkan asam dan pedas
cabai rawit. Hanya saja, jika kaledo lebih memainkan cita rasa sumsum
kaki, maka uwe mpoi menonjolkan asam dam pedas dari tulang iga dan
babat.
Di Kota Palu, kini ada beberapa warung makan yang menyajikan Keledo.
Salah satunya yang terkenal adalah warung Kaledo Abadi milik Hajah Rahma
Yusuf (62), yang terletak di Jalan Diponegoro Nomor 15, Kecamatan Palu
Barat. Sedangkan warung makan uwe mpoi, di antaranya ada di warung makan
Uwe Mpoi Ina Djuha. Warung makan yang tersohor milik Ina Djuahera
Tatunava (63), ini terletak di Jalan Anoa 1 Nomor 115, Kelurahan Tatura
Utara, Kecamatan Palu Selatan.
Warga Kota Palu atau pun masyarakat pendatang yang telah bertahun-tahun
tinggal di sini, hampir dapat dipastikan mengetahui warung Uwe Mpoi Ina
Djuha. Warung yang merupakan pelopor uwe mpoi ini memiliki luas seukuran
8,5 meter, yang terletak di sisa pekarangan tepat di sebelah kiri
rumahnya.
“Dulu hanya pondok-pondok kecil saja, alhamdulillah, lama-lama bisa kita buat seperti ini,” kata Ina Djuha dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Cara masak kaledo dan uwe mpoi cukup sederhana. Untuk memasak kaledo,
terlebih dahulu tulang kaki, tulang iga, dan tulang leher harus sudah di
potong-potong. Berbagai potongan tersebut lalu dicuci berulangkali. Ini
untuk memastikan sisa darah benar-benar telah bersih. Selanjutnya,
tulang-tulang itu direbus hingga matang.
Sementara, cabai hijau yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam
belanga. “Untuk asam, saya pakai yang muda masih ada kulitnya, itu kita
masak terpisah, kemudian kita remas dan diperas, disaring airnya saja,”
jelas Rahma.
Semudah cara memasak kaledo, begitu juga dengan uwe mpoi. Pada uwe mpoi,
yang pertama kali perlu dilakukan adalah memotong tulang iga, lemak,
paru-paru, dan babat dalam ukuran kurang lebih lima sentimeter.
“Mencucinya minimal harus sampai lima kali, supaya bau anyirnya benar-benar hilang,” kata Ina Djuha.
Pada saat yang sama, bumbu-bumbu seperti pada kaledo dihaluskan untuk
kemudian dimasak di dalam belanga. Setelah mendidih, tulang iga,
paru-paru, lemak, dan babat dimasukkan dimasak hingga matang.
Biasanya, untuk menikmati sajian kaledo maupun uwe mpoi, pendamping yang
tepat bukanlah nasi, melainkan ubi kayu atau jagung rebus. Atau minimal
dengan burasa, sejenis lontong yang dibungkus dengan daun pisang
berbentuk pipih.
Meski kaledo maupun uwe mpoi merupakan bagian dari sejarah peradaban
suku Kaili, harganya relatif mahal bagi kebanyakan masyarakat Kota Palu.
Untuk kaledo, warung Rahma memasang harga Rp30 ribu per porsi.
Sedangkan uwe mpoi di warung Ina Djuha dipatok dengan harga Rp15 ribu.
“Makanya yang datang untuk makan (hanya) sebagian kecil saja yang dari
masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Tapi racikan bumbu sederhana
uwe mpoi yang menonjolkan asam dan pedas ini tidak akan membuat makanan
ini hilang,” kata Ulfiana (23), cucu Ina Djuha yang disiapkan untuk
menjadi penerus warung makan uwe mpoi ini.
Rahma beralasan, harga yang ditetapkan dipicu dari tingginya harga bahan
baku di pasar. Sebab, sapi-sapi yang dipotong kebanyakan didatangkan
oleh pedagang sapi dari daerah lain.
“Sebenarnya bahan-bahan masih mudah dibeli di pasar, cuma harganya sudah
mahal sekali. Dulu, per kaki hanya Rp5 ribu. Sekarang sudah Rp100 ribu
ke atas. Soalnya, kebanyakan sapi dipotong dari Gorontalo dan kabupaten
lain, makanya lebih mahal,” papar Rahma. (Disarikan dari buku “Jejak
Kuliner Indonesia” karya JNE).